3  UTS-3 My Stories for You

Kadang, hidup terasa seperti panggung besar yang menuntut kita untuk tahu siapa diri kita bahkan sebelum kita sempat mengenalnya. Saya masih ingat masa kecil saya di SD, masa di mana dunia terasa sederhana, tapi hati saya justru rumit. Saya bukan anak yang disukai banyak orang. Entah kenapa, ada saja yang tidak cocok dengan cara saya berbicara, cara saya bergaul, atau mungkin hanya karena saya terlalu “berbeda.” Lucunya, meski begitu, mereka tetap mau berteman dengan saya, karena, yah… saya pintar. Mungkin itu satu-satunya alasan mereka bertahan di sekitar saya, dan jujur, waktu itu saya menerimanya begitu saja. Saya pikir, tidak apa-apa kalau orang tidak menyukai saya, asal mereka masih mau bersama saya. Tapi sekarang saya tahu, itu bukan cara yang sehat untuk memandang diri sendiri.

Saat masa itu berakhir, dan SMP mulai membuka gerbangnya, saya melihat kesempatan untuk berubah. Tidak ada seorang pun teman SD saya yang masuk ke SMP yang sama. Saya benar-benar sendirian, tapi kali ini, saya justru merasa itu bukan kutukan, melainkan awal yang baru. Saya memilih SMP terbaik di kota Malang, dengan alasan yang mungkin sedikit ambisius: saya ingin menjadi bintang di antara para bintang. Orang tua saya sempat beberapa kali bertanya, “Yakin, Nak? SMP itu berat, saingannya kuat.” Tapi saya tetap bersikeras. Saya ingin membuktikan sesuatu, bahwa saya bisa bersinar bukan karena kebetulan, tapi karena saya memang pantas.

Saya masih ingat hari pertama di sekolah baru itu. Semua terlihat luar biasa, gedungnya megah, murid-muridnya pintar, dan saya… saya cuma berusaha tidak salah jalan ke toilet. Tapi di balik semua kegugupan itu, saya punya tekad yang besar. Saya berkata pada diri sendiri, kalau dunia ini panggung, maka saya akan belajar memainkan peran saya dengan lebih baik daripada sebelumnya.

Hari demi hari berlalu, dan perlahan, saya mulai menemukan ritme saya. Saya belajar mengekspresikan diri, bukan dengan memaksakan orang untuk menyukai saya, tapi dengan menjadi diri saya yang tulus. Rasanya seperti… menyalakan lampu kecil di ruangan yang dulu gelap. Dan ternyata, banyak orang yang datang mendekat karena mereka melihat cahaya itu.

Perjalanan saya tidak berhenti di sana. SMA datang dengan tantangan baru, lebih besar, lebih ramai, tapi juga lebih seru. Saya tetap bersinar, tapi kali ini saya belajar bahwa menjadi bintang bukan berarti bersaing dengan cahaya lain. Kadang, justru indah saat kita bisa bersinar bersama-sama.

Lalu, hidup membawa saya ke babak berikutnya: kuliah. Saya diterima di ITB, di fakultas terbaik, dikelilingi oleh orang-orang hebat. Di sinilah, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, saya merasa kecil lagi. Semua orang di sekitar saya tampak cemerlang, mereka cepat, pandai, kreatif, dan ambisius. Sementara saya? Saya sibuk menenangkan diri agar tidak panik setiap kali tugas datang bersamaan dengan tiga deadline dan satu ujian. Kadang saya bercanda ke teman dekat saya, “Mungkin Tuhan sedang ngasih ujian, biar aku tahu rasanya jadi manusia biasa.” Tapi dalam tawa itu, ada sedikit kejujuran. Tekanan itu nyata. Emosi saya sering naik turun, dan saya sempat kehilangan arah. Rasanya seperti kembali menjadi anak SD, tidak tahu bagaimana harus menempatkan diri, hanya saja kali ini, saya bukan takut tidak disukai, tapi takut tidak cukup baik.

Di tengah semua kebingungan itu, saya mulai mencari kembali pegangan yang dulu membuat saya kuat. Saya menemukan jawabannya bukan di buku, bukan di catatan kuliah, tapi di telepon malam hari dengan orang tua saya. Saya masih ingat setiap kali saya bercerita kepada mereka tentang tugas yang menumpuk, tentang rasa takut saya gagal, atau tentang hari-hari di mana saya hanya ingin berhenti sebentar. Ibu akan berkata lembut, “Tidak apa-apa lelah, Nak. Tapi jangan berhenti.” Ayah biasanya hanya tertawa kecil, lalu berkata, “Ingat, perjuanganmu bukan cuma milikmu sendiri.”

Mereka benar. Setiap kali saya hampir menyerah, saya selalu ingat perjuangan mereka, bagaimana ayah saya rela bekerja jauh dari rumah, menempuh perjalanan panjang setiap minggu hanya untuk memastikan keluarga kecil kami baik-baik saja. Bagaimana ibu saya bangun setiap malam, berdoa dalam sunyi di sepertiga malam terakhir, memohon agar saya kuat dan tetap dijaga Tuhan. Saya tahu doa itu yang sampai pada saya, dalam bentuk kekuatan yang entah datang dari mana setiap kali saya hampir runtuh.

Saya sering berpikir, mungkin inilah cara cinta bekerja. Ia tidak selalu terlihat megah atau dramatis. Kadang cinta hadir dalam bentuk sederhana: sepotong nasihat, secangkir teh yang diseduh diam-diam, atau doa yang tidak pernah disebutkan tapi terus dikirimkan. Dan mungkin, ini juga cara kasih sayang orang tua bekerja, diam, tapi dalam.

Lucunya, meski saya sering terlalu serius memikirkan masa depan, saya juga tahu saya bukan orang yang selalu tegar. Ada hari-hari di mana saya merasa ingin menyerah. Ada malam-malam di mana saya ingin berteriak, “Sudah, cukup!” Tapi kemudian saya ingat, mungkin di saat yang sama, ibu saya sedang menengadahkan tangan, menyebut nama saya dalam doanya. Lalu saya tertawa kecil sendiri dan berkata dalam hati, “Ya sudah, masa saya mau nyerah duluan dari doa ibu?”

Sekarang, ketika saya melihat perjalanan saya ke belakang, saya sadar betapa banyak hal yang telah berubah. Saya bukan lagi anak SD yang mencari pengakuan, bukan juga siswa SMP yang hanya ingin bersinar. Saya sekarang adalah seseorang yang belajar untuk mencintai proses, bukan hanya hasilnya. Saya belajar bahwa dalam setiap perjuangan, Tuhan selalu menyiapkan hal-hal kecil yang membuat kita bertahan, entah itu senyum teman, doa orang tua, atau keberanian yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

Yang paling saya syukuri adalah, saya tidak lagi ingin menjadi “bintang di antara bintang.” Saya hanya ingin menjadi cahaya kecil yang bisa memberi terang, walau sedikit. Dan kalau ada satu hal yang ingin saya katakan untuk diri saya yang dulu, anak kecil yang dulu merasa tidak disukai, saya ingin berkata, “Kamu tidak perlu berubah untuk diterima. Cukup terus tumbuh, dan Tuhan akan menempatkanmu di tempat yang tepat.”

Kini, saya menjalani hidup dengan lebih tenang. Saya masih punya banyak mimpi, tentu saja. Saya masih sering cemas, masih sering kelelahan, dan ya, kadang masih menunda tugas (itu penyakit lama yang belum sembuh). Tapi setiap kali saya hampir kehilangan arah, saya selalu ingat satu hal sederhana: Bahwa setiap langkah saya, sekecil apa pun, adalah bentuk cinta dan doa yang sedang berjalan.

Dan bagi saya, itu sudah cukup untuk terus melangkah, pelan-pelan, tapi pasti.